Senin, 26 Oktober 2015

Contoh makalah ulumul qur'an tentang terjemah Al-Qur'an



MAKALAH ULUMUL QUR’AN TENTANG TERJEMAH AL-QUR’AN



OLEH :
Siti Fatimah
Siti Uswatun Hasanah

STID Mohammad Natsir Jakarta

PEMBAHASAN
            Keberhasilan dakwah sangat bergantung pada kedekatan juru dakwah dengan ummatnya. Juru dakwah yang lahir dari suatu lingkungan tentu akan memahami dengan sempurna tentang kondisi penyimpangan, kesesatan dan kebodohan yang membelenggu kaumnya, dan komunikasi penting diantara kedua belah pihak dengan satu bahasa merupakan satu aset penting dan lambang bagi kesamaan suatu komunitas sosial
. Allah berfirman dalam surah Ibrahim ayat 4,
وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن رَّسُولٍ إِلَّا بِلِسَانِ قَوۡمِهِۦ لِيُبَيِّنَ لَهُمۡۖ فَيُضِلُّ ٱللَّهُ مَن يَشَآءُ وَيَهۡدِي مَن يَشَآءُۚ وَهُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡحَكِيمُ ٤ 
4. Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dialah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.
            Al-Qur’an yang berbahasa arab adalah wahyu islam, dan islam adalah agama Allah yang telah ditetapkan. Pengetahuan tentang prinsip-prinsip dan dasar-dasar islam ini tidak akan tercapai dengan baik kecuali jika Al-Qur’an itu dipahami dengan bahasanya sendiri. Ekspansi islam yang luas, mempertemukan bahasa arab dengan bahasa-bahasa yang lainnya, bahasa-bahasa itu kemudian terarabkan dalam bahasa islam. Karenanya adalah suatu kewajiban bagi setiap orang yang masuk kedalam naungan agama baru, agar mengerti bahasa kitabnya secara lahir dan batin, sehingga ia dapat menjalankan kewajiban-kewajibannya. Dan terjemahan Al-Qur’an pada dasarnya tidak diperlukan lagi selama Al-Qur’an itu telah menjadi bahasa keimanan dan keislaman umat.
A.   Terjemahan Dalam Kerangka Definisi
Sebagai awal dari diskusi salah satu branch pembahasan dalam Ulumul Qur’an dengan tema “penerjemahan al-Qur’an”, kajian ini dibuka dengan mendalami definisi terdapat empat makna yang menjadi definisi dari terjemahan seperti berikut ini:
  1. Menyampaikan berita kepada yang terhalang menerima berita. Tindakan menyampaikan berita yang dilakukan oleh penerjemah terhadap orang yang sudah berusia 80-an tahun (mungkin karena orang sudah tuli), disebut terjemahan, dan orangnya disebut dengan turjuman (penerjemah). Seperti pada pernyataan berikut:
انما الثمانين وبلغتها قد ا حوجت سمعي الى ترجمان
“Sesungguhnya orang-orang yang sudah berusia 80-an tahun, dan dalam hal ini saya sudah mencapai usia demikian benar-benar memerlukan terjemahan”.
2. Menjelaskan maksud kalimat dengan cara menggunakan bahasa aslinya.  Dari pengertian ini, Ibn Abbas (w. 78 H.) yang mempunyai keahlian menafsirkan Al-Qur’an dapat disebut turjuman,  (penerjemah).
Sehubungan dengan definisi ini pula, Zamakhsyariy (w. 538 H.) berpendapat bahwa penerjemahan tentang sesuatu sama dengan penafsiran tentang sesuatu tersebut. Dengan kata lain berarti mutarjim sama dengan mufassir. Dalam kamus Lisan al-Arab juga dinyatakan bahwa turjuman (penerjemah, juru bahasa) disebut mufassir.[1]
 3. Menjelaskan maksud suatu kalimat dengan perantaraan bahasa di luar bahasa sumber. Bila bahasa sumbernya adalah bahasa Arab maka bahasa yang menjelaskannya harus bahasa lain. Untuk itu dalam buku Mukhtar as-Sihhah, ar-Raziy, mengatakan bahwa menerjemahkan artinya sama dengan memberikan penjelasan dengan cara memakai bahasa di luar bahasa sumbernya. Maka dapat diambil sebuah poin bahwa dalam upaya penerjemahan terdapat sebuah unsur yang sangat dominan, yaitu unsur “penjelasan”. Di dalam Tafsir Ibn Katsir ketika berbicara tentang Abdullah Ibn Abbas yang mendapat julukan sebagai penerjemah, dapat dikatakan bahwa terjemahan menurut asal-usul kata bahasa Arab, mutlak mengandung arti menjelaskan tanpa mempersoalkan bahasa yang digunakan dalam memberikan penjelasan tersebut. Apabila ditinjau dari sudut pandang bahasa yang digunakan dalam memberikan penjelasan, pendapat Ibn Katsir (705-774 H.) lebih bersifat umum dibandingkan dengan pendapat ketiga ini, sebab dalam hal memberikan penjelasan dapat dilakukan dengan menggunakan bahasa sumber atau bahasa lain.
4. Terjemahan juga diartikan sebagai pengalihan makna atau amanat dari bahasa tertentu ke bahasa lain. Pelaku pekerjaan mengalihkan makna atau amanat tersebut diberi nama penerjemah. Ibn Manzur menamakannya dengan tarjuman atau turjuman, yaitu orang yang mengalihbahasakan atau juru terjemah.
Selain empat definisi deskriptif tersebut di atas, terdapat pendapat serupa yang meringkas makna terjemah sebagai berikut:
A. Menyampaikan suatu kalam kepada seseorang yang belum mendapatkannya.
B. Menafsirkan suatu kalam dengan bahasa lainnya.
C. Memindahkan suatu kalam dari suatu bahasa ke bahasa yang lainnya.
D. Menafsirkan suatu kalam menurut bahasannya
Sementara definisi terjemah dari segi istilah atau ‘urf (menurut paham umum) yakni pendapat orang kebanyakan, mayoritas bukan menurut sekelompok orang atau bangsa atau suku tertentu. Dalam aspek ini kemudian ditarik sebuah statemen bahwa terjemahan menurut paham umum adalah ungkapan makna dari bahasa tertentu ke bahasa lain sesuai dengan maksud yang terkandung dalam bahasa tertentu tersebut. Dengan kata lain bahwa terjemah adalah memindahkan suatu bahasa kepada bahasa yang lain. Maksudnya ialah mengungkapkan suatu “pengertian” dengan suatu kalam yang lain dalam bahasa yang lain, dengan memenuhi arti dan maksud yang terkandung di dalam pengertian tadi. Untuk itu seorang penerjemah perlu memperhatikan teks yang akan diterjemahkan, baik dari segi isi teks maupun ragam bahasanya.
B. Makna Terjemah
            Kata “ Terjemah “ dapat dipergunakan pada dua arti :
1.    Terjemah Harfiyah, yaitu mengalihkan lafadz-lafadz dari satu bahasa kedalam lafadz-lafadz yang serupa dari bahasa lain sedemikian rupa sehingga susunan dan tertib bahasa kedua sesuai dengan susunan dan tertib bahasa pertama, Terjemahan harfiah juga  pengalihan bahasa yang dilakukan sesuai urut-urutan kata bahasa sumber. Dalam hal ini terdapat upaya memindahkan sejumlah kata dari suatu bahasa kepada bahasa lain dengan kosa kata dan susunan bahasa yang susuai dengan bahasa aslinya. Menurut Az-Zarqaniy, terjemahan seperti ini tak ubahnya dengan kegiatan mencari padanan kata. Terjemahan ini juga disebut dengan terjemahan lafdziyah atau musawiah, dan juga makna asli ialah makna yang dipahami secara sama oleh setiap orang yang mengetahui pengertian lafadz secara mufrad, dan mengetahui pula segi-segi susunannya secara global, sedangkan makna sekunder ialah karakteristik susunan kalimat yang menyebabkan suatu perkataan berkualitas tinggi, dan dengan makna inilah Al-Qur’an dinilai sebagai mukjizat, dan juga kadang makna asli sebagian ayat sejalan dengan prosa dan puisi kalam arab.
Terjemahan jenis ini dilakukan dengan cara memahami arti kata demi kata yang terdapat dalam teks terlebih dahulu. Kemudian dicari padanan kata dalam bentuk bahasa penerima, dan disusun sesuai dengan urut-urutan kata bahasa sumber meskipun maksud kalimat menjadi tidak jelas. Sejatinya terjemaha harfiah dalam definisi urut-urutan kata dan cakupan makna persis seperti bahasa sumber tidak mungkin dilakukan, karena masing-masing bahasa selain mempunyai ciri khas sendiri dalam urut-urutan kata, adakalanya juga mempunyai kandungan nuansa tersendiri.

2.Terjemah Tafsiriyah atau Terjemah Maknawiyah, yaitu menjelaskan makna pembicaraan dengan bahasa lain tanpa terikat dengan tertib kata-kata bahasa asal atau memperhatikan susunan kalimatnya, dan juga berarti mensyarahi (mengomentari) perkataan dan menjelaskan maknanya dengan bahasa lain, usaha seperti ini tidak terlarangan, karena Allah mengutus Muhammad untuk menyampaikan risalah islam kepada seluruh ummat manusia, dengan segala bangasa dan ras yang berbeda-beda. Nabi menjelaskan “Setiap nabi hanya diutus kepada kaumnya secara khusus, sedang aku diutus kepada manusia seluruhnya”. Terjemahan jenis ini adalah alih bahasa tanpa terikat dengan urut-urutan kata atau susunan kalimat bahasa sumber. Dalam definisi lain adalah menerangkan pengertian yang terkandung dalam suatu kalam dengan bahasa yang lain dengan terlepas dari kosa kata dan struktur kalimat bahasa lainnya. Terjemahan tafsiriyah mengutamakan ketepatan makna dan dimaksud secara sempurna dengan konsekuensi terjadi perubahan urut-urutan kata atau susunan kalimat. Karena itu terjemahan ini juga dinamakan dengan terjemahan maknawiah karena mendahulukan ketepatan makna. Az-Zarqaniy dan Manna’ al-Qattan sama-sama menamakan terjemahan tafsiriyah dengan terjemahan maknawiah, walaupun di antara keduanya memiliki perbedaan dalam aspek lain, Az-Zarqaniy memberikan nama terjemahan tafsiriyah karena teknik yang digunakan oleh penerjemah dalam memperoleh makna dan maksud yang tepat, mirip dengan teknik penafsiran, padahal bukan semata-mata tafsir. Metode yang dipakai dalam terjemahan tafsiriyah adalah dengan memahami terlebih dahulu maksud teks bahasa sumber, kemudian maksud tersebut disusun dalam kalimat bahasa penerima tanpa terikat dengan urut-urutan kata atau kalimat bahasa sumber.
C. SYARAT-SYARAT PENERJEMAH
Seorang penerjemah Al-Quran harus memenuhi syarat-syarat berikut:
·         Penerjemah haruslah seorang muslim, sehingga tanggung jawab keislamannya dapat dipercaya.
·          Penerjemah haruslah seorang yang adil dan tsiqah. Karenanya, seorang fasik tidak diperkenankan menerjemahkan Alquran.
·         Menguasai bahasa sasaran dengan teknik penyusunan kata. Ia harus mampu menulis dalam bahasa sasaran dengan baik.
·         Berpegang teguh pada prinsip-prinsip penafsiran Al-Quran dan memenuhi kriteria sebagai mufasir, karena penerjemah pada hakikatnya adalah seorang mufasir.
·         Penerjemah menguasai dua bahasa, bahasa asli (bahasa sumber) dan bahasa terjemahan.
·          Menguasai gaya bahasa-gaya bahasa dan keistimewaan-keistimewaan dari kedua bahasa tersebut.
Selain syarat di atas, shighat terjemahan harus benar jika diletakkan pada tempat aslinya dan terjemahann haruslah cocok benar dengan makna-makna dan tujuan-tujuan aslinya, dan penerjemah harus memberikan keterangan pendahuluan yang menyatakan bahwa terjemah Alquran tersebut bukanlah Alquran, melainkan tafsir Alquran.
D. Syarat-Syarat Terjemahan
Ada kalangan yang merekomendasikan persyaratan terjemahan dengan membedakan persyaratan terjemahan tafsiriyah dan terjemahan maknawiah. Terjemahan tafsiriyah hendaknya memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1.    Hendaknya terjemahan dapat memenuhi semua pengertian dan maksud dari bahasa aslinya yang benar.
2.     Susunan bahasa terjemahan bersifat bebas, namun memungkinkan dapat dituangkan kembali dalam bahasa aslinya dengan benar meskipun tanpa melihat kepada bahasa aslinya itu.
Dan untuk syarat terjemahan harfiah adalah sebagai berikut:
1.    Hendaknya terjemahan dapat memenuhi semua pengertian dan maksud dari bahasa aslinya yang benar.
2.     Susunan bahasa terjemahan bersifat bebas, namun memungkinkan dapat dituangkan kembali dalam bahasa aslinya dengan benar meskipun tanpa melihat kepada bahasa aslinya itu.
3.     Kosa kata-kosa kata dalam bahasa terjemahan harus sama dengan kosa kata-kosa kata bahasa aslinya.
4.     Ada kesamaan antara kedua bahasa (bahasa sumber dan bahasa terjemahan) mengenai kata ganti dan kata penghubung yang menghubungkan kosa kata-kosa kata untuk menyusun kalimat.
Namun secara ringkas dapat kualifikasi kriteria diperbolehkannya sebuah terjemahan dapat diidentifikasi dengan poin-poin berikut ini:
1.     Penerjemahan harus sesuai dengan konteks bahasa sumber dan konteks bahasa penerima. Yang dimaksudkan penerjemahan harus sesuai dengan konteks bahasa sumber adalah penerjemahan harus benar-benar sejalan dengan yang dibicarakan dalam bahasa sumber. . Contohnya adalah tentang kata السيا رة. Dalam konteks kisah Nabi Yusuf dalam surat Yusuf ayat 10, kata السيا رة berbeda dengan kata  السيا رة dalam konteks teknologi otomotif yang berarti mobil. Kata  السيا رة  dalam kisah Nabi Yusuf tersebut bermakna beberapa orang musafir.
2.      Penerjemahan harus sesuai dengan gaya bahasa sumber dan gaya bahasa penerima. Yang dimaksud dalam poin ini adalah penerjemahan benar-benar memperlihatkan kesesuaian gaya bahasa yang dipertemukan. Contoh yang dapat diajukan adalah: gaya ath-thibāq (الطباق) dalam bahasa Arab sama dengan gaya bahasa antitesis dalam bahasa Indonesia. Secara etimologi berarti lawan atau bertentangan. Selain itu, terdapat beberapa gaya bahasa, yang mesti diketahui sebelum melakukan terjemahan, seperti:
a)    Gaya bahasa al-itnāb (الاطنا ب) dalam bahasa Arab sepadan dengan gaya bahasa pleonasme, dalam bahasa Indonesia. Contohnya dalam kalimat bahasa Indonesia: Kejadian itu saya lihat dengan mata kepala sendiri. Dalam al-Qur’an contohnya dalam ayat : تنزَل الملا ئكة والروح فيما ....... (Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril...).
b)     Dalam bahasa Indonesia terdapat gaya bahasa metonimia, yang sepadan dengan gaya bahasa majaz mursal dalam bahasa Arab. Metonimia juga dapat dikatakan sebagai sebuah causitas dan sinekdoke, dan termasuk totum pro parte.
3.     Penerjemahan harus sesuai dengan ciri khas bahasa sumber dan ciri khas bahasa penerima. Untuk memperoleh deskripsi yang jelas tentang ciri khas bahasa sumber dan bahasa penerima akan dilihat dari peristiwa bahasa. Contohnya adalah:
a)    Bahasa Indonesia tidak mengenal fleksi (perubahan bentuk kata), baik konjugasi/tasrif (perubahan bentuk kata kerja), maupun deklinasi/i’rab (perubahan bentuk kata benda/sifat) seperti dalam terdapat dalam bahasa Arab.
b)     Bahasa Indonesia tidak mengenal jenis kelamin kata seperti yang terdapat dalam bahasa Arab.
c)      Bahasa Indonesia tidak mengenal bentuk jamak dualis dan bentuk jamak pluralis (jam’u at-taksir, jam’u al-muzakkar as-salim, jam’u al-mu’annas as-salim/feminime)  seperti dalam bahasa Arab.

 E. Hukum Terjemah
             Mengingat bahwa terjemah Al-Quran terbagi menjadi dua, Harfiyah dan Tafsiriyah, maka, untuk membahas hukum terjemah Al-Quran, harus membahas satu persatu dari dua macam Tarjamah Al-Quran tersebut.
Kalau kita mempunyai pengetahuan tentang bahasa-bahasa, tentu kita mengetahui bahwa terjemah harfiah tidak mungkin dapat dicapai degan baik jika konteks bahasa asli dan cakupan semua maknanya tetap dipertahankan. Sebab karakteristik setiap bahasa berbeda satu dengan yang lain dalam hal tertib bagian-bagian kalimatnya.
1. Hukum terjemah harfiah
Tidak ada keharaman menerjemahkan alqur’an dengan terjemah harfiah, sebab alqur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada rosulnya, merupakan mukjizat dengan lafadz dan maknanya, serta membacanya dipandang sebagai suatu ibadah. Di samping itu, tidak seorang pun berpendapat , kalimat-kalimat alqur’an itu jika diterjemahkan dinamakan pula kalamullah. Sebab allah tidak berfirman kecuali dengan alqur’an yang kita baca dengan bahasa arab, dan kemukjizatan hanya khusus bagi alqur’an yang diturunkan dengan bahasa arab. Kemudian yang dipandang ibadah dengan membacanya ialah alqur’an berbahasa arab yang jelas, berikut lafadz-lafadz, huruf-huruf dan tertib kata-katanya.
Terjamah Harfiyah terhadap Al-Quran, adakalanya berupa Terjamah yang menyerupainya (Bil Mitsli), dan adakalanya tidak menyerupainya (Bi Ghoiril Mitsli).
Terjamah Harfiayah bil Mitsli artinya, menerjemahkan susunan Al-Quran ke dalam bahasa lain, dengan menjelaskan kata perkata, menyamakan gaya bahasanya (uslub-nya), sehingga bahasa terjemah mampu memuat apa yang terkandung dalam susunan naskah aslinya, yaitu Ma’na atau pesan-pesan yang tersampaikan dari gaya bahasa aslinya yang sangat Baligh , sekaligus hukum-hukum syariatnya.
Terjemahan model seperti ini mustahil untuk dilakukan karena diturunkanya Al-Quran mempunyai dua tujuan ( الغرض), yaitu:
a. Untuk menunjukan kebenaran Nabi SAW dalam risalah-nya yang beliau sampaikan dari tuhannya, ini semua terjadi, karena Al-Quran adalah Mu’jizat, yang mana andaikan Manusia dan Jin bersatu-padu, bahu membahu untuk membuat atau menandingi satu surat sekalipun, yang menyerupainya, niscaya mereka tidak akan mampu untuk selamanya.
b. Untuk memberikan petunjuk pada Manusia, kepada kemaslahatan dan keselamatannya, baik di Dunia maupun di Akhirat.
Sedangkan Tarjamah Harfiyah bi Ghoiril Mitsli adalah menerjemahkan susunan Al-Quran dari kata perkata sebatas kemampuan si penerjemah, dan sebatas jangkauan bahasa terjemah. Dan juga terjemahan secara harfiyah tidak boleh dianggap sebagai arti dan maksud yang sesungguhnya dari al-Qur’an, terlebih untuk dijadikan suatu ketentuan dalam hukum. Sebab al-Qur’an menggunakan suatu lafazh dengan berbagai gaya dan untuk suatu maksud yang bervariasi, terkadang untuk arti hakiki yang bisa dipahami secara spontanitas oleh umumnya orang-orang yang mengerti bahasa Arab, dan sering-sering digunakan untuk arti dan maksud yang majazi atau arti dan maksud yang lainnya, yang hanya bisa dimengerti oleh orang-orang yang menguasai bahasa Arab. Apabila lafazh-lafazh di dalam ayat-ayat al-Qur’an, yang dimaksudkan untuk arti majazi atau untuk maksud lainnya, lalu diterjemahkan secara harfiyah murni, maka terjemahan itu belum mencerminkan arti dan maksud dari ayat tersebut, dengan demikian, penerjemahan Al-Qur’an dengan terjemah harfiyah, betapapun penerjemah memahami betul bahasa, uslub-uslub dan susunan kalimatnya, dipandang telah mengeluarkan Al-Qur’an dari keadaannya sebagai Al-Qur’an.
2. Hukum terjemah secara tafsiriyah
Dapat kita katakan, apabila para ulama islam melakukan penafsiran alqur’an, dengan cara mendatangkan makna yang dekat, mudah dan kuat, kemudian penafsiran ini diterjemahkan dengan penuh kejujuran dan kecermatan, maka cara demikian dinamakan dengan terjemah tafsiriyah, dalam arti mensyarahi (mengomentari) perkataan dan menjelaskan maknanya dengan bahasa lain. Usaha seperti ini tidak terlarang, karena allah mengutus nabi Muhammad SAW untuk menyampaikan risalah islam kepada seluruh umat manusia, dengan segala bangsa dan ras yang berbeda-beda. Nabi menjelaskan :
“ Setiap nabi hanya diutus kepada kaumnya secara khusus, sedang aku diutus kepada manusia seluruhnya” [2]
Hingga saat ini, al-qur’an telah diterjemahkan ke dalam 55 bahasa di dunia, seperti indonesia, prancis, jepang, cina dan lain-lain. Seperti yang telah dijelaskan oleh K.H Muharror Ali, informasi tersebut dialami sendiri oleh beliau, bahwa Informasi Mazhab Al-Qur’an nomor satu di Madinah mengatakan bahwa al-qur’an telah diterjemahkan ke dalam 55 bahasa. Tidak hanya itu, beliau pun sempat disuruh untuk menterjemahkan kedalam bahasa indonesia. Hukum terjemahan secara tafsiriyah bisa menjadi pegangan, sepanjang terjemahannya memenuhi syarat-syarat seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Namun demikian, terjemahan al-Qur’an secara maknawiyah tersebut tidak bisa disebut terjemah “al-Qur’an”, melainkan cukup dinamakan dengan tafsir al-Qur’an, dalam Al-Muwaffaqat, Asy-Syathibi menyebutkan makna-makna asli dan makna-makna sekunder, menerjemahkan Al-Qur’an dengan cara pertama, yakni dengan memperhatikan makna asliadalah mungkin. Dari segi inilah dibenarkan menafsirkan Al-Qur’an dan menjelaskan makna-maknanya kepada kalangan awam dan mereka yang tidak mempunyai pemahaman kuat untuk mempengaruhi makna-maknanya, yang demikian diperbolehkan berdasarkan consensus ulama islam, dan consensus ini menjadi hujjah bagi dibenarkannya penerjemahan makna asli Al-Qur’an.
Membaca Al-Qur’an dalam salat selain bahasa arab
1.    Boleh secara mutlak, atau disaat tidak sanggup mengucapkan dengan bahasa arab.
2.    Haram, dan salat dengan bacaan seperti itu tidak sah.
9.   Karya-Karya Terjemahan
Karya terjemahan al-Qur’an, khususnya terjemahan ke dalam bahasa Indonesia sangat banyak. Berikut ini adalah beberapa di antara buah karya terjemahan tersebut:
1.    Al-Qur’an dan Terjemahannya
Kitab ini disusun oleh sebuah tim yang tergabung dalam Lembaga Penerjemah Kitab Suci al-Qur’an yang terdiri dari 14 orang ulama, atas inisiatif Pemerintah Indonesia. Sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan No. 91/1962 dan No. 53/1963. Pertama kali diterbitkan oleh percetakan dan offset Jamunu di Jakarta, tahun 1965.
2.    Al-Qur’an fi Tafsiril Qur’an (Tafsir al-Furqan)
Kitab ini disusun oleh Ahmad Hasan, seorang ulama dan guru Persatun Islam. Pertama kali diterbitkan secara lengkap oleh Firma Salim Nabhan di Surabaya pada 15 Ramadhan 1375 atau 26 April 1956.
3.    Kitab Terjemah Al-Qur’an karya Prof. Mahmud Yunus
4.    Kitab Tafsir al-Qur’an disusun oleh H. Zainuddin Hamidy dan Fachruddin H.S.
5.    Kitab Taruman al-Mustafid karya Syekh Abdurrauf Singkil. Kitab terjemahan Abdurrauf Singkil ini tidak termasuk penerjemahan harfiyah, tetapi hanya mendekati jenis penerjemahan tersebut. Ada pula bagian di dalamnya yang termasuk penerjemahan tafsiriyah, yaitu alih bahasa tanpa terikat dengan urut-urutan kata atau susunan bahasa sumber. Dalam hal ini lebih mengutamakan ketepatan makna dan maksud semaksimal mungkin dengan konsekuensi terjadi perubahan urut-urutan kata atau susunan kalimat. Disebut terjemahan tafsiriyah karena teknik penerjemahan.
Bagaimana cara membedakan antara terjemah harfiyah dengan tafsiriyah.
Contoh….
“ dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkanya”[3].
Terjemah di atas disebut terjemah harfiah , yakni larangan Allah mengikatkan tangan ke leher atau membukanya lebar-lebar, sesuai dengan teksnya.
            Sedangkan contoh terjemah tafsiriyah adalah “ janganlah terlalu kikir dan jangan terlalu pemurah”. Hal ini di artikan bahwa terjemah tafsiriyah adalah menjelaskan pokoknya.
            Urgensi Kekuatan Umat Islam dalam Menegakkan Islam dan Bahasa Qur’an
                        Terjemahan tafsir itu diperkenankan menurut kadar kebutuhan dalam menyampaikan dakwah islam kepada bangsa-bangsa non islam, Al-Hafiz Ibnu Hajar menjelaskan “ Barang siapa masuk agam islam lalu dibacakan qur’an kepadanya tetapi ia tidak memahaminya, maka tidak ada halangan bila qur’an diterangkan kepadanya untuk memperkenalkan hokum-hukumnya atau agar tegaklah hujjah baginya, sebab hal itu dapat menyebabkannya masuk islam “[4]
            Oleh karena itu hendaklah kita mengarahkan pandangan untuk mencurahkan kesungguhan kita dalam bentuk kedaulatan qur’an dan mengokohkan pilar-pilar kebangkitannya atas dasar iman, ilmu dan pengetahuan karena dapat menjamin kekuasaan spiritual atas berbagai bangsa dan juga dapat mengarabkan bangsa mereka, apabila islam merupakan agama umat manusia seluruhnya maka bahasanya pun hendaknya demikian juga, jika kita berusaha mewujudkan kemuliaan yang ditentukan Allah bagi islam dan ummatnya.
MANFAAT TERJEEMAH AL-QUR’AN
Seorang pakar ilmu kelautan Prancis yang bernama Cikarto, dia bisa masuk Islam Hanya karena perantara membaca qur’an terjemah bahasa prancis. Dia telah menjelajahi seluruh lautan di dunia ini, dan setiap dia ganti laut, airnya tidak bisa bercampur, setelah itu dia membaca al-qur’an terjemah bahasa Prancis dari
surat ar-rahman ayat 19-20, yang berbunyi:
مَرَجَ ٱلۡبَحۡرَيۡنِ يَلۡتَقِيَانِ ١٩ 
 بَيۡنَهُمَا بَرۡزَخٞ لَّا يَبۡغِيَانِ ٢٠ 

19. Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu
20. antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui masing-masing
Setelah itu dia sadar, bahwa seluruh kejadian alam di dunia ini telah di terangkan semua dalam al-qur’an, dan akhirnya dia masuk islam. 
Adapun manfaat lainnya banyak sekali, diantaranya :
1.       Membantu dalam menghafal al-Quran. Karena salah satu metode menghafal yang paling efektif dan sudah teruji (diakui oleh para penghafal al-Quran) adalah dengan memahami terlebih dahulu arti ayat yang akan dihafal.
2.       Mempelajari bahasa arab terutama dalam menambah kosa kata yang bersumber dari al-Quran.
3.       Membantu dalam menyampaikan ceramah, kultum,  pengajian.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Hayy, Abd, Metode Tafsir Mawdhu’I, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994.
Al-Qattan, Manna’ Khalil, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Bogor : Litera AntarNusa, 2013.
Anwar, Rosihun, Ulum Al-Qur’an, Bandung : Pustaka Setia, 2012.
Ashiddieqy, Hasbi, Sejarah  dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir, Jakarta : Bulan Bintang, 1989.
Hasbi, Muhammad, Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1987.
M. Yusuf, Kadar, Study Al-Qur’an, Jakarta : Amzah, 2010.
Syadali Ahmad, Rafi’i, Ulumul Qur’an II, Bandung : Pustaka Setia, 2000.


[1] Pemberi keterangan tentang maksud suatu kalimat
[2] Petikan hadis “telah diberikan kepadaku lima hal yang belum pernah diberikan kepada seorang pun sebelum aku...” hadis ini terdapat dalam as-sahihain dan lainnya
[3] QS. Al-isra’: 29
[4] Fathul Bari, bab “ Ma Yajuzu min Tafsirit Taurah wa Kutubillah bil Arabiyah”

1 komentar:

  1. jika anda ingin mengetahui lebih lanjut lagi
    silahkan baca d buku-buku yang ada di daftar pustaka
    Syukron

    BalasHapus