MAKALAH
ULUMUL QUR’AN TENTANG TERJEMAH AL-QUR’AN
OLEH :
Siti Fatimah
Siti
Uswatun Hasanah
STID Mohammad Natsir Jakarta
PEMBAHASAN
Keberhasilan dakwah sangat bergantung pada kedekatan juru dakwah dengan
ummatnya. Juru dakwah yang lahir dari suatu lingkungan tentu akan memahami
dengan sempurna tentang kondisi penyimpangan, kesesatan dan kebodohan yang
membelenggu kaumnya, dan komunikasi penting diantara kedua belah pihak dengan
satu bahasa merupakan satu aset penting dan lambang bagi kesamaan suatu
komunitas sosial
. Allah berfirman dalam surah Ibrahim ayat 4,
. Allah berfirman dalam surah Ibrahim ayat 4,
وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن
رَّسُولٍ إِلَّا بِلِسَانِ قَوۡمِهِۦ لِيُبَيِّنَ لَهُمۡۖ فَيُضِلُّ ٱللَّهُ مَن
يَشَآءُ وَيَهۡدِي مَن يَشَآءُۚ وَهُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡحَكِيمُ ٤
4. Kami
tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia
dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan
siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki.
Dan Dialah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.
Al-Qur’an yang berbahasa arab adalah
wahyu islam, dan islam adalah agama Allah yang telah ditetapkan. Pengetahuan
tentang prinsip-prinsip dan dasar-dasar islam ini tidak akan tercapai dengan
baik kecuali jika Al-Qur’an itu dipahami dengan bahasanya sendiri. Ekspansi
islam yang luas, mempertemukan bahasa arab dengan bahasa-bahasa yang lainnya,
bahasa-bahasa itu kemudian terarabkan dalam bahasa islam. Karenanya adalah
suatu kewajiban bagi setiap orang yang masuk kedalam naungan agama baru, agar
mengerti bahasa kitabnya secara lahir dan batin, sehingga ia dapat menjalankan
kewajiban-kewajibannya. Dan terjemahan Al-Qur’an pada dasarnya tidak diperlukan
lagi selama Al-Qur’an itu telah menjadi bahasa keimanan dan keislaman umat.
A. Terjemahan Dalam Kerangka Definisi
Sebagai
awal dari diskusi salah satu branch pembahasan dalam Ulumul Qur’an dengan tema
“penerjemahan al-Qur’an”, kajian ini dibuka dengan mendalami definisi terdapat
empat makna yang menjadi definisi dari terjemahan seperti berikut ini:
1. Menyampaikan berita kepada yang terhalang
menerima berita. Tindakan menyampaikan berita yang dilakukan oleh penerjemah
terhadap orang yang sudah berusia 80-an tahun (mungkin karena orang sudah
tuli), disebut terjemahan, dan orangnya disebut dengan turjuman (penerjemah).
Seperti pada pernyataan berikut:
انما
الثمانين وبلغتها قد ا حوجت سمعي الى ترجمان
“Sesungguhnya
orang-orang yang sudah berusia 80-an tahun, dan dalam hal ini saya sudah
mencapai usia demikian benar-benar memerlukan terjemahan”.
2.
Menjelaskan maksud kalimat dengan cara menggunakan bahasa aslinya. Dari pengertian ini, Ibn Abbas (w. 78 H.)
yang mempunyai keahlian menafsirkan Al-Qur’an dapat disebut turjuman, (penerjemah).
Sehubungan
dengan definisi ini pula, Zamakhsyariy (w. 538 H.) berpendapat bahwa
penerjemahan tentang sesuatu sama dengan penafsiran tentang sesuatu tersebut. Dengan
kata lain berarti mutarjim sama dengan mufassir. Dalam kamus Lisan al-Arab juga
dinyatakan bahwa turjuman (penerjemah, juru bahasa) disebut mufassir.[1]
3. Menjelaskan maksud suatu kalimat dengan
perantaraan bahasa di luar bahasa sumber. Bila bahasa sumbernya adalah bahasa
Arab maka bahasa yang menjelaskannya harus bahasa lain. Untuk itu dalam buku
Mukhtar as-Sihhah, ar-Raziy, mengatakan bahwa menerjemahkan artinya sama dengan
memberikan penjelasan dengan cara memakai bahasa di luar bahasa sumbernya. Maka
dapat diambil sebuah poin bahwa dalam upaya penerjemahan terdapat sebuah unsur
yang sangat dominan, yaitu unsur “penjelasan”. Di dalam Tafsir Ibn Katsir
ketika berbicara tentang Abdullah Ibn Abbas yang mendapat julukan sebagai
penerjemah, dapat dikatakan bahwa terjemahan menurut asal-usul kata bahasa
Arab, mutlak mengandung arti menjelaskan tanpa mempersoalkan bahasa yang
digunakan dalam memberikan penjelasan tersebut. Apabila ditinjau dari sudut
pandang bahasa yang digunakan dalam memberikan penjelasan, pendapat Ibn Katsir
(705-774 H.) lebih bersifat umum dibandingkan dengan pendapat ketiga ini, sebab
dalam hal memberikan penjelasan dapat dilakukan dengan menggunakan bahasa
sumber atau bahasa lain.
4.
Terjemahan juga diartikan sebagai pengalihan makna atau amanat dari bahasa
tertentu ke bahasa lain. Pelaku pekerjaan mengalihkan makna atau amanat tersebut
diberi nama penerjemah. Ibn Manzur menamakannya dengan tarjuman atau turjuman,
yaitu orang yang mengalihbahasakan atau juru terjemah.
Selain
empat definisi deskriptif tersebut di atas, terdapat pendapat serupa yang
meringkas makna terjemah sebagai berikut:
A. Menyampaikan
suatu kalam kepada seseorang yang belum mendapatkannya.
B.
Menafsirkan suatu kalam dengan bahasa lainnya.
C. Memindahkan
suatu kalam dari suatu bahasa ke bahasa yang lainnya.
D.
Menafsirkan suatu kalam menurut bahasannya
Sementara
definisi terjemah dari segi istilah atau ‘urf (menurut paham umum) yakni
pendapat orang kebanyakan, mayoritas bukan menurut sekelompok orang atau bangsa
atau suku tertentu. Dalam aspek ini kemudian ditarik sebuah statemen bahwa
terjemahan menurut paham umum adalah ungkapan makna dari bahasa tertentu ke
bahasa lain sesuai dengan maksud yang terkandung dalam bahasa tertentu
tersebut. Dengan kata lain bahwa terjemah adalah memindahkan suatu bahasa
kepada bahasa yang lain. Maksudnya ialah mengungkapkan suatu “pengertian”
dengan suatu kalam yang lain dalam bahasa yang lain, dengan memenuhi arti dan
maksud yang terkandung di dalam pengertian tadi. Untuk itu seorang penerjemah
perlu memperhatikan teks yang akan diterjemahkan, baik dari segi isi teks
maupun ragam bahasanya.
B. Makna
Terjemah
Kata “ Terjemah “ dapat dipergunakan
pada dua arti :
1. Terjemah
Harfiyah, yaitu mengalihkan lafadz-lafadz dari satu bahasa kedalam
lafadz-lafadz yang serupa dari bahasa lain sedemikian rupa sehingga susunan dan
tertib bahasa kedua sesuai dengan susunan dan tertib bahasa pertama, Terjemahan
harfiah juga pengalihan bahasa yang
dilakukan sesuai urut-urutan kata bahasa sumber. Dalam hal ini terdapat upaya
memindahkan sejumlah kata dari suatu bahasa kepada bahasa lain dengan kosa kata
dan susunan bahasa yang susuai dengan bahasa aslinya. Menurut Az-Zarqaniy,
terjemahan seperti ini tak ubahnya dengan kegiatan mencari padanan kata.
Terjemahan ini juga disebut dengan terjemahan lafdziyah atau musawiah, dan juga
makna asli ialah makna yang dipahami secara sama oleh setiap orang yang
mengetahui pengertian lafadz secara mufrad, dan mengetahui pula segi-segi
susunannya secara global, sedangkan makna sekunder ialah karakteristik susunan
kalimat yang menyebabkan suatu perkataan berkualitas tinggi, dan dengan makna
inilah Al-Qur’an dinilai sebagai mukjizat, dan juga kadang makna asli sebagian
ayat sejalan dengan prosa dan puisi kalam arab.
Terjemahan
jenis ini dilakukan dengan cara memahami arti kata demi kata yang terdapat
dalam teks terlebih dahulu. Kemudian dicari padanan kata dalam bentuk bahasa
penerima, dan disusun sesuai dengan urut-urutan kata bahasa sumber meskipun
maksud kalimat menjadi tidak jelas. Sejatinya terjemaha harfiah dalam definisi
urut-urutan kata dan cakupan makna persis seperti bahasa sumber tidak mungkin
dilakukan, karena masing-masing bahasa selain mempunyai ciri khas sendiri dalam
urut-urutan kata, adakalanya juga mempunyai kandungan nuansa tersendiri.
2.Terjemah Tafsiriyah atau Terjemah
Maknawiyah, yaitu menjelaskan makna pembicaraan dengan bahasa lain tanpa
terikat dengan tertib kata-kata bahasa asal atau memperhatikan susunan
kalimatnya, dan juga berarti mensyarahi (mengomentari) perkataan dan
menjelaskan maknanya dengan bahasa lain, usaha seperti ini tidak terlarangan,
karena Allah mengutus Muhammad untuk menyampaikan risalah islam kepada seluruh
ummat manusia, dengan segala bangasa dan ras yang berbeda-beda. Nabi
menjelaskan “Setiap nabi hanya diutus kepada kaumnya secara khusus, sedang aku
diutus kepada manusia seluruhnya”. Terjemahan jenis ini adalah alih bahasa
tanpa terikat dengan urut-urutan kata atau susunan kalimat bahasa sumber. Dalam
definisi lain adalah menerangkan pengertian yang terkandung dalam suatu kalam
dengan bahasa yang lain dengan terlepas dari kosa kata dan struktur kalimat
bahasa lainnya. Terjemahan tafsiriyah mengutamakan ketepatan makna dan dimaksud
secara sempurna dengan konsekuensi terjadi perubahan urut-urutan kata atau
susunan kalimat. Karena itu terjemahan ini juga dinamakan dengan terjemahan
maknawiah karena mendahulukan ketepatan makna. Az-Zarqaniy dan Manna’ al-Qattan
sama-sama menamakan terjemahan tafsiriyah dengan terjemahan maknawiah, walaupun
di antara keduanya memiliki perbedaan dalam aspek lain, Az-Zarqaniy memberikan
nama terjemahan tafsiriyah karena teknik yang digunakan oleh penerjemah dalam
memperoleh makna dan maksud yang tepat, mirip dengan teknik penafsiran, padahal
bukan semata-mata tafsir. Metode yang dipakai dalam terjemahan tafsiriyah
adalah dengan memahami terlebih dahulu maksud teks bahasa sumber, kemudian
maksud tersebut disusun dalam kalimat bahasa penerima tanpa terikat dengan
urut-urutan kata atau kalimat bahasa sumber.
C. SYARAT-SYARAT PENERJEMAH
Seorang penerjemah
Al-Quran harus memenuhi syarat-syarat berikut:
·
Penerjemah haruslah
seorang muslim, sehingga tanggung jawab keislamannya dapat dipercaya.
·
Penerjemah haruslah
seorang yang adil dan tsiqah. Karenanya, seorang
fasik tidak diperkenankan menerjemahkan Alquran.
·
Menguasai bahasa sasaran
dengan teknik penyusunan kata. Ia harus mampu menulis dalam bahasa sasaran
dengan baik.
·
Berpegang teguh pada
prinsip-prinsip penafsiran Al-Quran dan memenuhi kriteria sebagai mufasir,
karena penerjemah pada hakikatnya adalah seorang mufasir.
·
Penerjemah menguasai dua
bahasa, bahasa asli (bahasa sumber) dan bahasa terjemahan.
·
Menguasai gaya bahasa-gaya
bahasa dan keistimewaan-keistimewaan dari kedua bahasa tersebut.
Selain syarat di
atas, shighat terjemahan harus benar jika diletakkan pada
tempat aslinya dan terjemahann haruslah cocok benar dengan makna-makna dan
tujuan-tujuan aslinya, dan penerjemah harus memberikan keterangan pendahuluan
yang menyatakan bahwa terjemah Alquran tersebut bukanlah Alquran, melainkan
tafsir Alquran.
D. Syarat-Syarat Terjemahan
Ada kalangan yang merekomendasikan persyaratan
terjemahan dengan membedakan persyaratan terjemahan tafsiriyah dan terjemahan
maknawiah. Terjemahan tafsiriyah hendaknya memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
1. Hendaknya terjemahan dapat memenuhi semua
pengertian dan maksud dari bahasa aslinya yang benar.
2. Susunan
bahasa terjemahan bersifat bebas, namun memungkinkan dapat dituangkan kembali
dalam bahasa aslinya dengan benar meskipun tanpa melihat kepada bahasa aslinya
itu.
Dan untuk syarat terjemahan harfiah adalah
sebagai berikut:
1. Hendaknya terjemahan dapat memenuhi semua
pengertian dan maksud dari bahasa aslinya yang benar.
2. Susunan
bahasa terjemahan bersifat bebas, namun memungkinkan dapat dituangkan kembali
dalam bahasa aslinya dengan benar meskipun tanpa melihat kepada bahasa aslinya
itu.
3. Kosa
kata-kosa kata dalam bahasa terjemahan harus sama dengan kosa kata-kosa kata
bahasa aslinya.
4. Ada
kesamaan antara kedua bahasa (bahasa sumber dan bahasa terjemahan) mengenai
kata ganti dan kata penghubung yang menghubungkan kosa kata-kosa kata untuk
menyusun kalimat.
Namun secara ringkas dapat kualifikasi
kriteria diperbolehkannya sebuah terjemahan dapat diidentifikasi dengan
poin-poin berikut ini:
1. Penerjemahan harus sesuai dengan konteks
bahasa sumber dan konteks bahasa penerima. Yang dimaksudkan penerjemahan harus
sesuai dengan konteks bahasa sumber adalah penerjemahan harus benar-benar
sejalan dengan yang dibicarakan dalam bahasa sumber. . Contohnya adalah tentang
kata السيا رة. Dalam konteks kisah
Nabi Yusuf dalam surat Yusuf ayat 10, kata السيا رة
berbeda dengan kata السيا رة dalam konteks teknologi otomotif yang berarti mobil. Kata السيا رة dalam kisah Nabi Yusuf tersebut bermakna
beberapa orang musafir.
2. Penerjemahan harus sesuai dengan gaya bahasa
sumber dan gaya bahasa penerima. Yang dimaksud dalam poin ini adalah
penerjemahan benar-benar memperlihatkan kesesuaian gaya bahasa yang
dipertemukan. Contoh yang dapat diajukan adalah: gaya ath-thibāq (الطباق) dalam bahasa Arab sama dengan gaya bahasa
antitesis dalam bahasa Indonesia. Secara etimologi berarti lawan atau
bertentangan. Selain itu, terdapat beberapa gaya bahasa, yang mesti diketahui
sebelum melakukan terjemahan, seperti:
a) Gaya bahasa al-itnāb (الاطنا ب) dalam bahasa Arab sepadan dengan gaya bahasa pleonasme, dalam
bahasa Indonesia. Contohnya dalam kalimat bahasa Indonesia: Kejadian itu saya
lihat dengan mata kepala sendiri. Dalam al-Qur’an contohnya dalam ayat : تنزَل الملا ئكة والروح فيما ....... (Pada malam
itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril...).
b) Dalam
bahasa Indonesia terdapat gaya bahasa metonimia, yang sepadan dengan gaya
bahasa majaz mursal dalam bahasa Arab. Metonimia juga dapat dikatakan sebagai
sebuah causitas dan sinekdoke, dan termasuk totum pro parte.
3. Penerjemahan harus sesuai dengan ciri khas
bahasa sumber dan ciri khas bahasa penerima. Untuk memperoleh deskripsi yang
jelas tentang ciri khas bahasa sumber dan bahasa penerima akan dilihat dari
peristiwa bahasa. Contohnya adalah:
a) Bahasa Indonesia tidak mengenal fleksi
(perubahan bentuk kata), baik konjugasi/tasrif (perubahan bentuk kata kerja),
maupun deklinasi/i’rab (perubahan bentuk kata benda/sifat) seperti dalam terdapat
dalam bahasa Arab.
b) Bahasa
Indonesia tidak mengenal jenis kelamin kata seperti yang terdapat dalam bahasa
Arab.
c) Bahasa
Indonesia tidak mengenal bentuk jamak dualis dan bentuk jamak pluralis (jam’u
at-taksir, jam’u al-muzakkar as-salim, jam’u al-mu’annas as-salim/feminime) seperti dalam bahasa Arab.
E.
Hukum Terjemah
Mengingat bahwa terjemah Al-Quran terbagi menjadi dua,
Harfiyah dan Tafsiriyah, maka, untuk membahas hukum terjemah Al-Quran, harus
membahas satu persatu dari dua macam Tarjamah Al-Quran tersebut.
Kalau kita mempunyai pengetahuan
tentang bahasa-bahasa, tentu
kita mengetahui bahwa terjemah harfiah tidak mungkin dapat dicapai degan
baik jika konteks bahasa asli dan cakupan semua maknanya tetap dipertahankan.
Sebab karakteristik setiap bahasa berbeda satu dengan yang lain dalam hal
tertib bagian-bagian kalimatnya.
1. Hukum terjemah
harfiah
Tidak ada keharaman
menerjemahkan alqur’an dengan terjemah harfiah, sebab alqur’an adalah
kalamullah yang diturunkan kepada rosulnya, merupakan mukjizat dengan
lafadz dan maknanya, serta membacanya dipandang sebagai suatu ibadah. Di
samping itu, tidak seorang pun berpendapat , kalimat-kalimat alqur’an itu jika diterjemahkan dinamakan pula kalamullah. Sebab allah
tidak berfirman kecuali dengan
alqur’an yang kita baca dengan bahasa arab, dan kemukjizatan hanya khusus bagi
alqur’an yang diturunkan dengan bahasa arab. Kemudian yang dipandang ibadah
dengan membacanya ialah alqur’an berbahasa arab yang jelas, berikut
lafadz-lafadz, huruf-huruf dan tertib kata-katanya.
Terjamah Harfiyah terhadap
Al-Quran, adakalanya berupa Terjamah yang menyerupainya (Bil Mitsli),
dan adakalanya tidak menyerupainya (Bi Ghoiril Mitsli).
Terjamah
Harfiayah bil Mitsli artinya, menerjemahkan susunan Al-Quran ke dalam
bahasa lain, dengan menjelaskan kata perkata, menyamakan gaya bahasanya (uslub-nya),
sehingga bahasa terjemah mampu memuat apa yang terkandung dalam susunan naskah
aslinya, yaitu Ma’na atau pesan-pesan yang tersampaikan dari gaya bahasa
aslinya yang sangat Baligh , sekaligus hukum-hukum syariatnya.
Terjemahan model seperti
ini mustahil untuk dilakukan karena diturunkanya Al-Quran mempunyai dua tujuan
( الغرض), yaitu:
a. Untuk menunjukan
kebenaran Nabi SAW dalam risalah-nya yang beliau sampaikan dari tuhannya, ini
semua terjadi, karena Al-Quran adalah Mu’jizat, yang mana andaikan Manusia dan
Jin bersatu-padu, bahu membahu untuk membuat atau menandingi satu surat
sekalipun, yang menyerupainya, niscaya mereka tidak akan mampu untuk selamanya.
b. Untuk memberikan
petunjuk pada Manusia, kepada kemaslahatan dan keselamatannya, baik di Dunia
maupun di Akhirat.
Sedangkan Tarjamah Harfiyah bi Ghoiril
Mitsli adalah menerjemahkan susunan Al-Quran dari kata perkata sebatas
kemampuan si penerjemah, dan sebatas jangkauan bahasa terjemah. Dan juga
terjemahan secara harfiyah tidak boleh dianggap sebagai arti dan maksud yang
sesungguhnya dari al-Qur’an, terlebih untuk dijadikan suatu ketentuan dalam
hukum. Sebab al-Qur’an menggunakan suatu lafazh dengan berbagai gaya dan untuk
suatu maksud yang bervariasi, terkadang untuk arti hakiki yang bisa dipahami
secara spontanitas oleh umumnya orang-orang yang mengerti bahasa Arab, dan
sering-sering digunakan untuk arti dan maksud yang majazi atau arti dan maksud
yang lainnya, yang hanya bisa dimengerti oleh orang-orang yang menguasai bahasa
Arab. Apabila lafazh-lafazh di dalam ayat-ayat al-Qur’an, yang dimaksudkan
untuk arti majazi atau untuk maksud lainnya, lalu diterjemahkan secara harfiyah
murni, maka terjemahan itu belum mencerminkan arti dan maksud dari ayat
tersebut, dengan demikian, penerjemahan Al-Qur’an dengan terjemah harfiyah,
betapapun penerjemah memahami betul bahasa, uslub-uslub dan susunan kalimatnya,
dipandang telah mengeluarkan Al-Qur’an dari keadaannya sebagai Al-Qur’an.
2. Hukum terjemah
secara tafsiriyah
Dapat kita katakan,
apabila para ulama islam melakukan penafsiran alqur’an, dengan cara
mendatangkan makna yang dekat, mudah dan kuat, kemudian penafsiran ini
diterjemahkan dengan penuh kejujuran dan kecermatan, maka cara demikian
dinamakan dengan terjemah tafsiriyah, dalam arti mensyarahi (mengomentari)
perkataan dan menjelaskan maknanya dengan bahasa lain. Usaha seperti ini tidak
terlarang, karena allah mengutus
nabi Muhammad SAW untuk menyampaikan
risalah islam kepada seluruh umat manusia, dengan segala bangsa dan ras yang berbeda-beda. Nabi menjelaskan
:
“
Setiap nabi hanya diutus kepada kaumnya secara khusus, sedang aku diutus kepada
manusia seluruhnya” [2]
Hingga saat ini, al-qur’an telah diterjemahkan ke
dalam 55 bahasa di dunia, seperti indonesia, prancis, jepang, cina dan
lain-lain. Seperti yang telah dijelaskan oleh K.H Muharror Ali, informasi
tersebut dialami sendiri oleh beliau, bahwa Informasi Mazhab Al-Qur’an nomor
satu di Madinah mengatakan bahwa al-qur’an telah diterjemahkan ke dalam 55
bahasa. Tidak hanya itu, beliau pun sempat disuruh
untuk menterjemahkan kedalam bahasa
indonesia. Hukum terjemahan secara tafsiriyah bisa
menjadi pegangan, sepanjang terjemahannya memenuhi syarat-syarat seperti yang
telah diuraikan sebelumnya. Namun demikian, terjemahan al-Qur’an secara
maknawiyah tersebut tidak bisa disebut terjemah “al-Qur’an”, melainkan cukup
dinamakan dengan tafsir al-Qur’an, dalam Al-Muwaffaqat, Asy-Syathibi
menyebutkan makna-makna asli dan makna-makna sekunder, menerjemahkan Al-Qur’an
dengan cara pertama, yakni dengan memperhatikan makna asliadalah mungkin. Dari
segi inilah dibenarkan menafsirkan Al-Qur’an dan menjelaskan makna-maknanya
kepada kalangan awam dan mereka yang tidak mempunyai pemahaman kuat untuk
mempengaruhi makna-maknanya, yang demikian diperbolehkan berdasarkan consensus
ulama islam, dan consensus ini menjadi hujjah bagi dibenarkannya penerjemahan
makna asli Al-Qur’an.
Membaca
Al-Qur’an dalam salat selain bahasa arab
1. Boleh secara mutlak, atau disaat tidak sanggup
mengucapkan dengan bahasa arab.
2. Haram, dan salat dengan bacaan seperti itu
tidak sah.
9. Karya-Karya Terjemahan
Karya
terjemahan al-Qur’an, khususnya terjemahan ke dalam bahasa Indonesia sangat banyak.
Berikut ini adalah beberapa di antara buah karya terjemahan tersebut:
1. Al-Qur’an dan Terjemahannya
Kitab ini disusun oleh sebuah tim yang tergabung
dalam Lembaga Penerjemah Kitab Suci al-Qur’an yang terdiri dari 14 orang ulama,
atas inisiatif Pemerintah Indonesia. Sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan
No. 91/1962 dan No. 53/1963. Pertama kali diterbitkan oleh percetakan dan
offset Jamunu di Jakarta, tahun 1965.
2. Al-Qur’an fi Tafsiril Qur’an (Tafsir
al-Furqan)
Kitab
ini disusun oleh Ahmad Hasan, seorang ulama dan guru Persatun Islam. Pertama
kali diterbitkan secara lengkap oleh Firma Salim Nabhan di Surabaya pada 15
Ramadhan 1375 atau 26 April 1956.
3. Kitab Terjemah Al-Qur’an karya Prof. Mahmud
Yunus
4. Kitab Tafsir al-Qur’an disusun oleh H.
Zainuddin Hamidy dan Fachruddin H.S.
5. Kitab Taruman al-Mustafid karya Syekh
Abdurrauf Singkil. Kitab terjemahan Abdurrauf Singkil ini tidak termasuk
penerjemahan harfiyah, tetapi hanya mendekati jenis penerjemahan tersebut. Ada
pula bagian di dalamnya yang termasuk penerjemahan tafsiriyah, yaitu alih
bahasa tanpa terikat dengan urut-urutan kata atau susunan bahasa sumber. Dalam
hal ini lebih mengutamakan ketepatan makna dan maksud semaksimal mungkin dengan
konsekuensi terjadi perubahan urut-urutan kata atau susunan kalimat. Disebut
terjemahan tafsiriyah karena teknik penerjemahan.
Bagaimana
cara membedakan antara terjemah harfiyah dengan tafsiriyah.
Contoh….
“ dan janganlah kamu jadikan
tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkanya”[3].
Terjemah
di atas disebut terjemah harfiah , yakni larangan Allah mengikatkan tangan ke
leher atau membukanya lebar-lebar, sesuai dengan teksnya.
Sedangkan contoh terjemah tafsiriyah adalah “ janganlah
terlalu kikir dan jangan terlalu pemurah”. Hal ini di artikan bahwa terjemah
tafsiriyah adalah menjelaskan pokoknya.
Urgensi Kekuatan Umat Islam dalam Menegakkan Islam dan
Bahasa Qur’an
Terjemahan tafsir itu diperkenankan menurut
kadar kebutuhan dalam menyampaikan dakwah islam kepada bangsa-bangsa non islam,
Al-Hafiz Ibnu Hajar menjelaskan “ Barang siapa masuk agam islam lalu dibacakan
qur’an kepadanya tetapi ia tidak memahaminya, maka tidak ada halangan bila
qur’an diterangkan kepadanya untuk memperkenalkan hokum-hukumnya atau agar
tegaklah hujjah baginya, sebab hal itu dapat menyebabkannya masuk islam “[4]
Oleh karena itu hendaklah kita mengarahkan pandangan
untuk mencurahkan kesungguhan kita dalam bentuk kedaulatan qur’an dan
mengokohkan pilar-pilar kebangkitannya atas dasar iman, ilmu dan pengetahuan
karena dapat menjamin kekuasaan spiritual atas berbagai bangsa dan juga dapat
mengarabkan bangsa mereka, apabila islam merupakan agama umat manusia
seluruhnya maka bahasanya pun hendaknya demikian juga, jika kita berusaha
mewujudkan kemuliaan yang ditentukan Allah bagi islam dan ummatnya.
MANFAAT TERJEEMAH AL-QUR’AN
Seorang pakar ilmu
kelautan Prancis yang bernama Cikarto, dia bisa masuk Islam Hanya karena
perantara membaca qur’an terjemah bahasa prancis. Dia telah menjelajahi seluruh
lautan di dunia ini, dan setiap dia ganti laut, airnya tidak bisa bercampur, setelah
itu dia membaca al-qur’an terjemah bahasa Prancis dari
surat ar-rahman ayat
19-20, yang berbunyi:
مَرَجَ ٱلۡبَحۡرَيۡنِ
يَلۡتَقِيَانِ ١٩
بَيۡنَهُمَا بَرۡزَخٞ لَّا يَبۡغِيَانِ ٢٠
19. Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu
20. antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui masing-masing
Setelah itu dia sadar, bahwa seluruh kejadian alam di dunia ini telah di
terangkan semua dalam al-qur’an, dan akhirnya dia masuk islam.
Adapun manfaat lainnya
banyak sekali, diantaranya :
1. Membantu
dalam menghafal al-Quran. Karena salah satu metode menghafal yang paling
efektif dan sudah teruji (diakui oleh para penghafal al-Quran) adalah dengan
memahami terlebih dahulu arti ayat yang akan dihafal.
2. Mempelajari
bahasa arab terutama dalam menambah kosa kata yang bersumber dari al-Quran.
3. Membantu
dalam menyampaikan ceramah, kultum, pengajian.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Hayy, Abd, Metode Tafsir Mawdhu’I, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994.
Al-Qattan, Manna’ Khalil, Studi Ilmu-Ilmu
Qur’an, Bogor : Litera AntarNusa, 2013.
Anwar, Rosihun, Ulum Al-Qur’an, Bandung : Pustaka Setia, 2012.
Ashiddieqy, Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir, Jakarta : Bulan Bintang, 1989.
Hasbi, Muhammad, Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1987.
M. Yusuf, Kadar, Study Al-Qur’an, Jakarta : Amzah, 2010.
Syadali Ahmad, Rafi’i, Ulumul
Qur’an II, Bandung : Pustaka Setia, 2000.
[1]
Pemberi keterangan tentang maksud suatu kalimat
[2]
Petikan hadis “telah diberikan kepadaku lima hal yang belum pernah diberikan
kepada seorang pun sebelum aku...” hadis ini terdapat dalam as-sahihain dan
lainnya
[3]
QS. Al-isra’: 29
[4]
Fathul Bari, bab “ Ma Yajuzu min Tafsirit Taurah wa Kutubillah bil Arabiyah”
jika anda ingin mengetahui lebih lanjut lagi
BalasHapussilahkan baca d buku-buku yang ada di daftar pustaka
Syukron